BERBAGI WANITA

suatu malam di pusat kota, di bawah redup remang lampu jalanan. bersandarkan pagar supermarket yang sudah tutup sore tadi. ditemani segelas kopi dari warung seberang jalan, dan satu pack rokok Dji Sam Soe Magnum yang tinggal separo.

aku dan BADAK (sahabat super okol yang isi otanya sudah tergantikan bola dan mistar gawang), bersama membunuh waktu lewati hari terganti (alias "MBAMBONG").

menyaksikan komedi kehidupan yang terus berlangsung didepan mata. mencari intisari kenyataan yang tersirat lewat sandiwara yang tersaji ini. mengambilnya menjadikannya renung jiwa mengisi waktu yang menertawakan keangkuhan diri.

tak terasa 3 batang Dji Sam Soe musnah terhisap, serta segelas kopi yang tinggal separo dan tak lagi panas. kuambil lagi sebatang dan menyulutnya dengan korek peninggalan Cak Amel (sobat gadang yang RHS = Rada Tomo Sitik, hehe... just kid! ) yang tertinggal di meja Pak Sus (salah satu SEKetariat BEGadang depan stasiun). belum sampai setengah batang aku hisap, terkejut dengan dua kata yang terucap lewat bibir sahabatku tadi.

"BERBAGI WANITA", yah!!! 2 kata yang sebenarnya berati positif jika terpisah. kata "BERBAGI" yang cenderung dengan jiwa yang soliter, care pada suatu hal atau apalah terserah. sedangkan "WANITA", sudah tak bisa dipungkiri jika kata benda ini adalah ciptaan tuhan yang paling indah, yang buat kita harus berfikir dua kali untuk melukainya.

tapi 2 kata itu diuacapkannya dengan berurutan. buatku diam sejenak canggung. lalu tertawa seakan mengerti yang dimaksud padahal pikiranku masih buta dengan 2 kata tersebut.

"BERBAGI WANITA" terlalu tabu untuk diartikan menurutku. apalagi jikia dimaknai lewat pemikiran bocah seumuran terbitan yang selalu ingin tahu. kata "BERBAGI WANITA" terlalu dekat dengan hal-hal yang porno dan vulgar. seperti permen karet yang kita kulum lalu dibuang setelah sepah.

tapi jika dimaknai dengan pemikiran lebih dewasa, "BERBAGI WANITA" cenderung mengabarkan kerendahan derajat sosok wanita dibandingkan kaum Adam. selaksa hal yang bisa dipotong-potong lalu dibagi rata seperti kue saat pesta ulang tahun.

kupun menarik opini akan hal ini. bagiku lebih baik kurelakan sepenuhnya untukmu dari pada harus berbagi. wanuita adalah sosok yang terlalu buruk untuk dibagi. munafik memang jika kita bahagia ketika memlepas sosok yamh kita idamkan dimiliki orang lain. tapi itu lebih baik daripada nanti melihat sepatang mata yang harus menangis menahan kecewa dan luka.

SO, masih banyak hal didunia ini yang bisa dibagi, apalagi ini saatnya tanggal berbagi. tapi salah satunya bukanlah wanita. Oke...!!!

Bertemankan Api

kala sang gelap mulai selimuti belantara alam

cahaya mentari pergi menyisakan pertaruhan mimpi esok

dan senja mulai terpejam

tergantikan deru angin bekukan hati

suara alam kudengar menggertak luruh

memaksa keberanian untuk tumbuh

mulai aku bicara dengan alam dan bukan lewat bibir yang bersuara

mulailah aku melihat kenyataan dengan mata terbekap gelap

mengembalikanku dalam nuansa keterasingan

menyendiri bertemankan api

anugerahkan ketakjuban kepada api yang turut membakarkegelapan ini

seperti juga dengan api itu yang aku harap saat datang dulu

memberi ruang ditengah himpitan malam senyap

sayang batang kayu yang kudatangi bukan seperti tatanan kayu di depanku ini

batang kayu yang aku tuju basah, hingga aku tak mampu menyulutnya

walau sepenggal sesal terbekas

kupersilahkan waktu yang buktikan pertaruhan ini

tinggal diam dan menatap apakah masabisa membakarnya

lalu kulanjutkan keresahan ini dengan kesendirian

bertemankan api yang hangatkan kebekuan hati

dan cahaya yang terangi sunyi

hilang sudah takutku lewat api

serta keberanianku bebaskan mimpi

secangkir kopi untuk sobat

Malam...
Itu waktu yang setia kutunggu tiap hari berganti
Senja menjadi tempat buku ceritaku nanti malam
Entah cerita bahagia ataupun duka
Dan juga tentang mimpi" yang ingin kita capai

Di pinggir jalan protokol, di atas trotoar, beralaskan sandal jepit kusam
Duduk melingkar, ditemani secangkir kopi panas kita bersama membunuh waktu

Lalu mulai kita buka bekal yg tersimpan di senja tadi
Cerita" remaja bahkan dewasa mulai bersenandung seiring hembusan angin
Bermacam judul terdengar lewat kalimat" dari bibir sahabat
canda, tawa, dan luka menjadi keabstrakan isi hati yang bersanding dengan pahitnya kopi

Tentang dingin malam yang terobati panasnya kopi
Dan asap melambung tebal ke langit malam dari batang rokok yang kita hisap
Seolah itulah settingan tiap malam kita menjalani panggung sandiwara ini

Hingga tiba giliranku membuka bekalku
Berhenti sejenak dan kembali kurasakan pahitnya kopi di depanku
Mulai kukabarkan setiap judul yang kusimpan dikala senja tadi
Judul pertama selesai, lalu keseruput lagi kopi yang sudah agak dingin terbawa waktu
Lalu judul ke-2, ke-3, dan seterusnya
Sampai ke judul yang seharusnya tak kubawa malam ini
Cerita yang aku kira manis, ternyata justru pahit
Tak sengaja aku menyinggung seorang sahabat di depannya langsung
Suasana berubah, lupa akan tuannya...
Dingin semakin mengikat tubuh, sebab kopi tak lagi panas
Tinggal rasa pahitnya yang tersisa...
Aku menyesal, gundah merasa bersalah...

Sobat!, yang bisa kuberikan hanya secangkir kopi pahit panas, dan berharap...
Bisa mengobati menggigilnya hatimu,
Bisa menppanti rasa pahit yang kau terima lewat ucapanku dengan pahitnya kopi...

time for time

Tanganku terkepal berdarah,
mencoba menembus kokohnya dinding waktu,
tapi apa daya, karena aku manusia yang ditakdirkan terpenjara waktu,
dan sekarang adalah waktu yang menghukumku sebagai anak adam,
bunuh mimpi tentang merpati,
hatiku sudah mati suri untuk sekian janji,
kakiku melangkah gontai menahan perih yang terurai lewat tangis,
melihat ke atas, semakin aku merasa kerdil dibawah tatanan malam,
kutundukkan wajah, semakin nampak rasa maluku kepada bumi tempatku berpijak,
mataku sayu seakan menyerah kepada waktu yang kian menghimpit,
diam ditempat untuk sekedar menundg pahit,
ini nyatanya, tapi sama sekali bukan keinginan,
tinggal menunggu waktu beri jawaban...

banyak arti

Aku mohon...
Kepada bunga yang dulu kurayu,
kembali sebarkan harum semerbakmu,
mekar lagi pesonamu dalam tiap tatapanku,
sesungguhnya aku telah jatuh sejak dulu,
cuma saja kuragu jika semua itu palsu,
sebab tak begitu lama aku mengenalmu,
tapi kau telah tumbuh di padang penantianku,
dan kini kusadar ternyata itu sama sekali tak palsu,
ku harap tak terlambat,
untukku kembali menyiram air asmara pada kau bunga,
jangan dulu layu,
karena aku baru tahu apa yang kurasa dari begitu banyak arti...


sebelum terlambat

aku terkejut,
mataku terbelalak ke atas,
tahan rasa sakit yang teramat,
seakan palu baja menghujam kepalaku,
tajamnya pisau tikamku dari belakang,
dan panasnya peluru menembus tepat di dadaku...

kesalahanku terbongkar,
dan parah aku baru sadar,
bahwa ini memang kilavku sebagai manusia,
sang rembulanpun pergi dan lari dari malam,
karena kecewa melihat manusia pengecut sepertiku masih saja berani munafikkan kebodohannya dia atas bumi yang sudah tua ini,
kudengar suara binatang malam yang seolah mengolok-olok seorang penakut sepertiku...

ternyata sampai sekarang tanganku masih gemetar ketika menggenggam batu tantangan,
sering kubutakan mataku dari wajah kenyataan,
sering kubuat tuli pendengaranku dari suara kritikan,
sering kubuat bisu ucapku dari senandung kejujuran,
diriku yang kurasa sudah dewasa, ternyata untuk berdiri sendiri sekalipun masih tak mampu...

bukannya aku miskin ilmu,
tapi salahku tak mampu kugunakan ilmu,
aku tak mengharapkan kesempatan datang untuk kedua kalinya,
melainkan sebatas kesadaran yang kudapatkan,
percuma jika kesempatan datang untuk kesekian kali,
tetapi masih saja belum sadar...

memang setiap manusia itu punya takdirnya masing masing,
tapi apakah menjadi seorang pecundang itu takdirku ?,
semoga saja tidak...

sering aku sendiri bicara pada malam,
tentang isi hatiku dengan bulan dan bintang sebagai saksi,
tapi ketika alam memberi jawaban aku sering menghindar...

akan kucari di tengah belantara kegelapan ini,
meski hanya seberkas cahaya lentera sampai dapat,
SEBELUM TERLAMBAT...


hidupku bersyair

diantara redup sunyi,
dari sepasang telinga wajar,
kudengar alunan layaknya syair,
sebait syair kehidupan bersenandung lirih,
lewat bibir sang rembulan,
yang sedang bersembunyi dibalik tirai awan hitam...

aku terkejut layu,
tubuhku kaku,
mataku menatap sayu,
bagaimana mungkin sepasang mata Adam bisa meneteskan air,
anginpun turut berhenti dan tertegun,
tenyata seorang dari kaum Adam yang seharusnya telihat kokoh,
air mata bisa jatuh dari matanya.
meskipun bukan aku,
walaupun air mata itu bukan dari mataku,
tetapi sebait syair itu sudah menhujam batinku,
mebuat hatiku menangis yang lebih kencang dari tangisan bayi,
mebanjiri jiwaku dengan sejuta tanya,
karena aku juga turut merasa....

hasratku untuk marah,
tapi pada siapa,
inginku tertawa bahagia,
tapi apa pantas,
aku malu,
tapi ucapku masih bisu...

berharap mimpi ini segera usai,
tapi tetap saja,
karena ini adalah kenyataan,
yang mengahruskan aku bermimpi untuk mimpi orang lain...

padahal aku bikin ini sebagai sebuah sandiwara,
tapi ia bilang ini nyata,
lalu salah siapa...

tak perlu menyalah siapa,
kaena tak ada yang perlu dipersalahkan,
apa lagi disesalkan,
penyesalan bukanlah jawaban...

mungkin ini memang bagianku,
sebait syair kehidupan yang harus kuterima,
diantara bait bait lain,
yang entah kapan dan bagaimana...

Belum mampu menjawab

kusembunyikan sedihku,
dibalik ketidakwarasanku,
yang sebenarnya masih sadar,
seperti rembulan yang mengintip,
dari balik awan hitam tadi...

kusimpan tangisku dalam batin,
tapi ternyata langit tahu,
lalupun turut menangis...

topeng sang pejuang ini masih kupakai,
tapi tetap saja,
aku manusia biasa yang bertopeng...

keadaan membawaku ke atas perahu.
perahu di atas ombak lautan luas,
terombang-ambing kesana kemari,
di bawah cermin batinku yang mendung,
tanpa arah dan tujuan....

rintik hujan tadi milikku,
malam emang sudah lalu,
tinggal segelintir menetes,
terbalut rasa malu...

masih saja aku terjerat rasa pilu,
yang kucari jalan keluar,
bukan jalan melingkar...

aku punya tangan tapi tak mampu menunjuk,
aku punya mata tapi selalu berbohong,
aku punya lidah tapi tak mampu jujur,
tapi aku masih menyimpan hati yang masih menyisakan ruang,
ruang untuk rasa penyesalan atas keadaan,

keadaan ini palsu,
tapi juga bukan komedi di atas pentas...

aku bukan batu besar di tengah2 aliran air,
yang hanya bisa menanti air merubahnya,
aku juga tak seperti bintang,
yang tak takut jatuh meski tak punya sayap...

kepalaku sedang menyunggi beban yang besar,
tatapi kakiku sudah gemetar untuk melangkah...

semua butuh waktu,
tapi maslahnya sampai kapan ?,
ucapku belum mampu menjawab...

waktu bisu

biarkan embun basuh hari,
berkubang basah dalam hati,
waktu tak seperti aku,
membeku dalam api penantian,
meleleh di dingin sayu,
waktu yang pertemukan kita,
tapi juga waktu pula yang memberi jarak pada kau dan aku,
senja kapan kau teriakkan anganmu tentangku,
mencaciku dengan sejuta rahasia,
aku dengan lidah gagu,
dan pandang yang ragu,
cuma punya satu,
dan terlanjur kau curi dariku,
ketidakwarasan ini lebih menyadarkankan aku,
dari segala bisu,
dan ketidakwajaran ini malah membangunkan aku,
dari keinginan yang mampu mengalahkan logika,
biarkan saja waktu kan membakarnya,
dan semua bisu membekukannya.....

Pohon Jati yang Sejati

kenapa pohon jati itu mampu berdiri menjulang tinggi dengan kokoh ?

"karena, pohon jati sejak ia tumbuh sudah terbiasa dengan terpaan angin, dan ketika ia tumbuh tinggi, ia tak takut akan angin, bahkan badai sekalipun."

lalu kenapa ketika ia tumbuh malah seperti mati ?, apa ia takut untuk hidup ?

"bukannya ia takut hidup, tapi itu adalah pengorbanan ia untuk terus hidup, hidup perlu pengorbanan bukan...."

"dan yang jelas tak ada ciptaan-Nya di muka bumi ini yang benar benar mati, semuanya adalah hidup, sesuatu yang hidup itu adalah sesuatu yang berguna bagi yang lain, bahkan batu itupun menjadi tumpuan bagi tumbuhan, begitu juga tanah pada tanaman, dan sesuatu yang kubilang mati adalah sesuatu yang tak berguna sedikitpun bagi yang lain, dan aku tak mau menjadi sesuatu yang mati...."

KBU 17

di sini... di ruang ini!!
di sebuah dunia edan,
ini ruang yang misteri,
dirahasiakan dari mata karma,
ruang yang aneh,
diluar dingin,
tapi di dalam hujan hasrat,
berada di paling sudut antara sudut,
ruang yang menyulap penghuninya buta akan masa,
atau malah waktu yang ternyata menarik bilik itu dari zaman tak etis,
bilik yang tak lebih besar dari WC umum ini,
membuat jemari muda menjadi dewasa.
mengubah mata polos jadi mata keranjang,
"khusus 17 th keatas" hanyalah wacana yang emang hanya dibaca,
nyatanya malah untuk ospek menjadi 17 th keatas,
pas dengan nomor 17,
ya... KBU no 17 yang membiru,
sebiru film itu,
KBU 17=ruang tak kenal waktu....

Cuma Bukan Diriku

aku bukanlah sepenggal nama,
bukan sebuah panggilan,
aku bukan pula diriku,
aku bukanlah aku...

aku bukanlah teman kau,
bukan juga musuh kau,
aku bukanlah aku...

aku bukanlah anak kau
juga bukan kakak, atau adik kau,
aku bukanlah diriku...

aku bukan muridmu,
bukan pula siswamu,
bukan aku...

aku bukan yang kau sayangi, atau kau cintai,
juga bukan yang kau benci,
bukan diriku...

aku bukan yang kau kata hiperbolist,
juga bukan yang kau bilang pasif,
bukanlah aku...

aku cuma tulang berbalut daging bernyawa,
yang diberikan anugerah oleh-Nya,
sehingga aku punya nama indah,
lalu aku dipanggil dengan sebutanku,
dan aku juga bisa merasakan indahnya persahabatan,
dan memberiku arti bahwa musuh itu bukan orang lain,
memberiku orang tua yang bisa memanjakan setiap helaan nafasku,
menganugerahkan kepadaku saudara yang menjadi cermin,
mengirimkan padaku guru yang dikata tanpa tanda jasa,
menyelipkan padaku rasa cinta dan juga benci, sehingga aku bisa merasakan jatuh cinta,
dan rasanya benci walau itu perih,
lalu aku bisa berbuat lebih, bahkan berlebihan,
tapi juga pernah jadi batu pada sebuah keadaan...

aku cuma bukan diriku....