Segelas, segumpal, senada, dan LEPAS

Yap, lama sudah tak menulis bebas. Mungkin kelamaan pakai perasaan, jadinya terlalu terbudakkan perasaan. Heheu... Sedikit mengulas kegalauan-kegalauan kemarin yang sempat bikin arah hidup gak jelas. Aku sekarang pun kadang senyum-senyum sendiri mengingat hal itu, nggak habis pikir sebab-sebabnya kegalauan itu yang sebenernya benar-benar sepele haha... Mulai dari kontrakan yang ada-ada aja hehe, trus pak rt baru, dan paling gak jelas adalah masalah cewek. Haha... Wong aq aja jomblo kok bisa bingung gara-gara cewek, ceweknya siapa mas... (semoga ada cewek tertarik habis baca ini, hwakakak...). Tapi ya udahlah, itu udah terjadi, anggep aja itu fase suramku hehe...
Sekarang adalah lembaran baru yang kesekian kalinya, lembar baru mungil, tapi cukup buat kembali bangun. Barusan aku posting sisa kegalauan kemarin. Yang semoga itu bener-bener sisa yang terakhir. Hari ini, ketika menulis ini, aku begitu berhasrat melangkah. Menyelesaikan sedikit perkara, dan mewujudkan rencana akhir pekan. Uye... Semangat yang cukup ini semoga bisa jadi alasan buat menang dalam perang jangka pendek ini.
Walaupun semalam nggak tidur (biasa, kutukan insomnia masih melekat padaku... Wkwk), tapi tak sampai membunuh gairah hidupku. Aseeek... Kebebasan kali ini aku beri tema, "SEGELAS, SEGUMPAL, SENADA, DAN LEPAS..." yaps... Itu gambaran pagiku yang cerah ini. Semua kata yang menjamuku, kata-kata yang aku nikmati. SEGELAS kopi panas, kopi tubruk yang sederhana, yang istimewa dalam aromanya segar. Tak ada minuman yang lebih pantas dari ini, minumannya pribumi yang tak neko-neko. Berasa seperti dikebun kopi dah... Hehe!!. Kemudian SEGUMPAL tembakau. Produk asli dalam negeri, olahan tangan-tangan profesional. Di sempurnakan takaran campuran wismilak satu ons dan setengah ons mentol. Dan yang paling menarik adalah membuatnya. Melintingnya menjadi sebatang rokok yang istimewa. Seni sederhana yang bagiku langka, apalagi sekarang udah banyak dijual rokok-rokok jadi. Tapi inilah, cerminan hidup, berupa proses dan pengorbanan. Selanjutnya adalah SENADA dengan alunan musik laptop. Ya, bagiku musik adalah sarana terapi yang paling ampuh untuk mendamaikan hati, menyederhanakan hidup menjadi lebih bisa dimengerti. Lewat lirik syahdu, musik mampu meredam emosi. Aku suka musik. Dan yang terakhir adalah LEPAS. Lepas yang aku maksud adalah kebebasan, seperti tulisanku saat ini. Sedikit mengulang kembali, rahasia umum bahwa satu anugerah yang dimiliki manusia adalah kebebasan. Kebebasan menginterpretasikan kode-kode semesta yang nampak disetiap mata terbuka.
Lengkap sudah pagiku dengan ekosistem ini, bagian-bagian yang saling melengkapi. Alam, pribadi, spiritual, dan realisasi. Indah bukan... Nikmati pagi kita kawan, nikmati dan jangan berhenti...

Kupecah kau...

"ya itulah, kamu dan dia nggak pernah berdua membicarakannya. Kamu dan dia cuma menerka-nerka, akhirnya pun yang kamu dan dia dapati cuma angan2 gak jelas. Memangnya kamu dan dia mau seperti ini terus ???, terhanyut dalam aliran keruh ini..." dia hujankan kata2 itu tepat didepan wajahku.
Sesaat kemudian, setelah menarik nafas dalam2, dia kembali menyercaku di depan mataku. "kenapa, kamu dan dia menikmatinya ?, iya kan... Menikmati untuk mengandai-andai setiap apa yang dari masing2 kamu atau dia tampilkan, Setiap kalimat yang kamu atau dia ucapkan. Kamu dan dia sama2 terlena hasrat berimajinasi yang belum tentu nyata itu kan, dan kamu dan dia sangat nyaman begitu." " ah, kau semakin menyudutkanku, memang benar benar aku begitu, pun juga dia", dalam hatiku mengumpat. Lalu tiba2 gaduh, seperti suara benda yang pecah terjatuh.

AKU BERLALU MENINGGALKAN KEPINGAN CERMIN YANG AKU PECAHKAN....

Negeri yang galau

Teringat pelajaran sejarah waktu sekolah dulu, sejarah indonesia. Sebuah negeri yang disuguhkan begitu indah dengan alamnya, kekayaan yang begitu mengagumkan. Mungkin aku cuma membayangkan wajah leluhurku, membayangkan kehidupannya. Begitu damai. Ingat cerita tentang kerajaan2 dulu, dari buku, guru, juga lewat "jaduman". Senyum sapa wajah pribumi yang santun. Martabat alam masih tinggi, moralitas masih murni. Kemudian islam masuk membawa pengetahuan religi. Masuk dengan sangat bersahabat. Hingga kehidupan kala itu semakin seimbang.
Penjajahan dan masa2 perjuangan menjadi garis sejarah yang tersisa dipelajari dibangku2 sekolah, bahkan mungkin tak sepenuhnya. Ketika negeri ini mulai belajar, ketika manusia2nya haus akan ilmu. Kita kebablasan. Kita terlalu terburu menggapai cita.
Sejarah telah dibelokkan, moralitas bobrok. Tinggalah yang kita saksikan setiap hari di media masa. Betapa kejam negeri ini. Sejarah tinggal menjadi dongeng tanpa pelajaran yang terbukti tak mampu mengobati karut marut negeri ini. Lihatlah, setiap hari kita disuguhi bentuk2 moralisme negeri ini yang kiat cacat. Golongan elit saling serang, rakyat jelata juga, orang berilmu sok tau dan beropini sendiri sendiri. Rakyat bingung, penguasa bingung, negara pun bingung. Monopoli negara adikuasa kian merajalela. Harga minyak naik, rakyat demo, dibalas dengan pembentukan undang2 anti rok mini, nazarudin merasa dipermainkan, anas ngancam dengan cara sok pemberani. Ngambil mangga jatuh dipenjara, ngambil sendal jepit dibui, anak2 perempuan diperjualbelikan, remaja doyan seks. Huh, seakan tiada habisnya melihat kebobrokan negeri ini. Dan ya, memang negeri ini bobrok dan mungkin bkal tambah bobrok.
Hai kalian pendahulu kami, para ketua suku, para raja, para pejuang, para founding fther, para leluhur, para nenek moyang, para rakyat yang mungkin telah diberi tahu kebenaran oleh Tuhan. Mungkin aku salah menilai seperti ini, tapi mungkin juga tidak. Tapi siapapun dan apapun kebenaran itu, aku rasa membunuh tetaplah membunuh, buruk adalah memang buruk.
Aku mengerti kegalauan ini. Dampak sistematis sebuah konspirasi. Entah siapa dibelakang semua ini, yang jelas Tuhan terbukti melihat.
Satu yang masih kucintai, dan sangat kucintai dari negeri ini, dan aku harap ini tak pernah berakhir. Adalah alam negeri ini yang diciptakan Tuhan untuk patut dan sangat untuk dicintai.

Sebobrok apapun negeriku,
kau masih punya mahameru lengkap dengan ranu kumbolonya, kau masih punya merapi yang penuh misteri, kau masih punya lawu yang penuh kejutan,
belum lagi pesisir selatan yang tak habis keindahaan laut kidulan walau dunia sudah modern,
alammu yang tak bisa dirasuki konspirasi dunia, yg tak teracuni globalisasi, yg tak terpengaruh kemunduran jaman.
Biar keadaan ini mundur, asal kau tetap disana...
Aku cinta, sangat cinta alammu,
oh negeriku yang galau...

Kosmostate

Konsep negara jaman dulu. Jaman para raja. Dimana seorang raja berkewajiban menyelaraskan dua objek, antara makro dan mikro. Dimana makro adalah alam semesta termasuk hal nampak maupun tidak nampak. Sedangkan mikro adalah manusia2nya. Manusia hidup di alam semesta, dan alam semesta adalah tempal tinggal manusia. Bisa dibilang kosmo state merupakan konsep murni sebuah negara. Walau pada dasarnya konsep ini sudah berlaku jaman dulu, namun dirasa tidak kuno. Justru ilustrasi tentang kosmostate lebih stabil ketimbang bentuk negara jaman sekarang yang sering terjadi benturan.
Dalam kosmostate, seorang raja memiliki kelebihan mampu membaca dan memahami alam semesta.
HARGAILAH SEMESTA, TERMASUK BUDAYANYA. JANGAN PRAGMATIS, DUNIA SUDAH TUA KAWAN.

Tuhan, buat aku berani...

Huh, apa itu berani ?. Ada banyak macam makna berani. Satu orang dengan yang lain bisa saja berbeda. Ada yang bilang, berani adalah anarkis, tak pandang lawan siapa, tak mundur. Ada juga yang bilang berani adalah kenekatan tanpa persiapan. Berani adalah bernyali menantang bahaya. Berani adalah mengatasi gugup di depan orang banyak. Dan berani2 yang lain yang bermacam-macam. Semua perbedaan itu terletak pada variabelnya, tergantung dari mana makna berani itu dipandang. Bahkan bisa saja, yang dianggap seseorang apa itu berani, justru dianggap angkuh dimata yang lain.
Merumuskan itu rumit. Bisa dibilang ketahanan untuk masih hidup sampai sekarang juga berkat sesuatu yang kita sendiri tak memahami konsepnya. Kadang keberanian datang tanpa disadari, tapi justru ketika kita berupaya untuk berani, justru malah ragu. Hah, kalau memang berani tak perlu kerja keras, kenapa masih banyak orang stres ?, kenapa masih banyak orang putus asa ?, kenapa masih banyak orang yang memilih "sembunyi" ?. Banyak sekali kenyataan yang membuktikan bahwa tidak semua orang di dunia ini berani. Dan jika alasan kita masih hidup sampai sekarang adalah berkat keberanian, pastinya berani bukan sekedar kebalikan takut saja. Lebih dari itu, berani adalah sesuatu yang berharga dan penuh misteri.
Melihat berani sebagai adjektiva maka tak lepas dari ranah psikologis manusia. Dan tidak bisa menilai sebagai positif atau negatif karena psikologis setiap orang beda2.
Namun bagaimanapun, berani dimanapun tempatnya pasti diiringi dengan tekad yang kuat. Konsep berani muncul ketika seorang manusia dihadapkan pada sesuatu yang dianggap menghalangi atau menghambat. Sering kita bersyukur telah menyelesaikan suatu masalah, baik sepele ataupun tidak. Tapi kita lupa bahwa disitu pun ada bentuk berani yang menyertai. Misal sewaktu dijalan pada malam hari ban sepeda motor pecah, dan tidak menemui tukang tambal ban disepanjang jalan. Akhirnya pun mendorong sampai rumah dan masalah setidaknya tidak lagi berat walaupun masih harus menambalnya diesok hari. Sering kita mencaci keadaan dan melupakan segala bentuk pembelajaran dari suatu peristiwa yang dialami. Kita tak sadar bahwa telah berani memilih menuntun kendaraan sampai dirumah, berani menilai bahwa itu satu2nya jalan.
Dari beberapa fenomena sosial, banyak intepretasi dengan berbagai macam variabel sudut pandang mengenai konsep berani. Ternyata semua itu sama ketika dikembalikan kepada kita sebagai manusia. Bahwa manusia yang sesungguhnya insan yang bebas. Bahwa manusia berhak menghargai dia sebagai manusia adalah ketika dia menjadi insan yang bebas. Bahwa berani adalah biasan dari konsep bebas itu sendiri. Bisa dibilang, TIDAK ADA MANUSIA YANG TIDAK BERANI, KECUALI MANUSIA YANG TAKUT HIDUP. BAHWA MANUSIA YANG BERANI ADALAH MANUSIA YANG BISA MEMAINKAN KETAKUTAN AKAN SESUATU DIHADAPANNYA YANG MENGHALANGI ATAU MENGHAMBAT. Sepakat untuk menyikapi bahwa hidup adalah tinggal persoalan menunda mati, maka tidak ada orang yang takut hidup. Bahwasanya setiap yang mati pasti pernah hidup.
Namun kembali bicara soal berani, ada satu hal yang lebih merugikan ketimbang takut. Yakni rasa ragu2. Bukan berarti ragu2 tidak mungkin berani, tapi ada berani dengan ragu2. Sungguh itu siksaan bagi orang hidup dalam menghadapi setiap permasalahan. Butuh tekad yang murni, butuh niatan yang kuat, agar bisa berani dengan sepenuhnya berani.
Salah satunya keberanian untuk membenci yang tidak ingin dibenci. Setiap menyatakan tekad untuk berani selalu muncul kata tapi. Negosiasi keputusan yang berujung pada keraguan. Hingga pasrah pada waktu yang mungkin saja tak menjawab, malah justru semakin menyiksa.
Teringat Tuhan sebagai bentuk kesempurnaan. Kepada Tuhan mohon berilah hamba keberanian, tegaskanlah tekad hamba untuk berani bersikap seperti yang disampaikan perumpamaan2MU yang datang berkali kali. Jadikan hamba insan yang berani berbuat baik sesuai perintahMU. Apapun makna berani bagiMU, sebagai manusia sadarkan hamba adalah ciptaanmu. Yang Telah kau gariskan hukum alam masa depan hamba. Jadilah keraguan ini sebagai proses ketegasanku untuk sebuah bentuk berani yang tak salah arah. TUHAN BERIKAN AKU SEBAGAI INSAN YANG BERANI...

Satu lagi kontradiksi

Sederhana...
Ya, aku ingin sederhana,
tak ingin terlalu membenci,
tak juga melulu memuja muja cinta.

Bebas,
aku ingin bebas...
Bebas dari derita cemburu,
tapi juga bebas menjadi pemilik hati...

Ah aku bukan pujangga yang bisa membuat benci menjadi indah,
yang mampu merajut rindu yang selaras rasa.

Aku hanya tak mampu menggapai kesederhanaan dan justru mengingkarinya,
aku hanya tak mampu bebas dan memilih terpenjara dalam ilusi perdebatan rasa.

Bak perahu cabik, setiap ombak adalah setiap aku melihat, mendengar, dan mendapati tentang rasa yang mungkin telah mati di satu pihak,
setiap gelombangnya mengombang ambingkanku,
tapi menahanku agar tak terbalik,
agar tetap ombak memankannya...

Sungguh perdebatan tak masuk akal,
seharusnya mudah ku lewatinya,
dimana aku menerimanya ??,
aku nikmati saja ini,
satu lagi kontradiksi
satu lagi ilusi...

Badai pasti kan datang

Bias mentari dari embun pagi...
Pelangi2 kecil bertebaran diatas daun2,
Burung gereja mengejarnya,
Loncat dari ranting ke ranting, dahan ke dahan,
Pecahkan butir air embun menjadi buih halus terbang di udara.

Selagi belum terik,
Selagi belum habis kesejukan pagi.

Di ujung tinggi pohon tua lebat,
Burung gereja tersenyum terbahagia,
Berkhayal...
Berangan...
Merasa...

Menengok dunia bawah yang begitu kecil...
Burung gereja diterpa bahagia...
Dia dapatkan surga...
Surganya para pemilik alasan untuk hidup.

Namun,,,
Dunia tak selalu indah,
setiap khayalan, setiap angan,
tak selalu bersenandung merdu...

Sudah kubilang, yang mengerti badai, yang mengerti ajal, yang mengerti penderitaan, yang mengerti pengorbanan cuma satu,
MEREKA YANG MEMILIKI ALASAN UNTUK PANTAS HIDUP...

Kemana perginya pertanyaan2 itu...

Kulihat tenda biru...
Bukan,
ini bukan pesta pernikahan,
bukan hari perayaan dewa dewi cinta,
tapi di sini ada cinta,
namun juga seperti cintanya dewi shinta.

Sudah lewat tengah malam,
di depanku ada sepasang remaja asik bercumbu dibayang2 pohon,
saling memanggut bibir,
bersandar pada pagar sebuah jawatan,
sambil duduk dan saling meraba mesra...

Bangsat!!
Ya aku hanya bilang bangsat...
Bisa dibilang menutupi perasaan binal saja,
tapi aku lebih tersinggung,
Dunia ini kian tak nyaman,
malamnya tak lagi nyenyak,
siangnya cuma kemalasan.

Mungkin bisa saja ku kuatkan sujudku,
memintakan ampun dosa2 penghuni dunia ini,
tapi ketika berhadapan dengan diriku,
semua kembali sunyi,
tak ada kata2 penyesalan,
hanya diam tanpa renung.

Lalu dimana pertanyaan2 itu,
pertanyaan yang membuatku belajar,
pertanyaan yang mendinginkan emosi,
pertanyaan yang tak mengadili satu macam sudut pandang,
pertanyaan yang membuat tak terburu egois...

Aku merindukan pertanyaan2 itu setiap malam,
sehingga tak hanya gelap, tak hanya kelam...

Pertanyaan yg hilang itu yang membuatnya seperti di atas...

Dukamu dukaku

Kulihat lagi... Satu matahari yang tenggelam dalam jurang cakrawala...
Sabar kawan...
Aku kan disebelahmu, duduk dan kubantu melewati dukamu...
Walau bagaimanapun, tak pernah kubisa mengerti dukamu...
Tapi percayalah, bukankah kau ingat mungkin...
Bahwa aku pernah duduk di situ, ditempatmu sekarang...
Juga menatap surya tenggelam...
Menangis sajalah...
Semua akan tiba pada giliran kita...
Sebagai mentari...
Atau sebagai daun gugur yang tak ada orang menderu...
Yang jelas itu akan tiba...
Jadilah janji kepadanya, sebagai kegembiraan baginya didasar jurang...
Aku tetap disebelahmu, sebagai kawan, lawan, atau bukan apa apa...
Aku hanya merasa sama...
Bahwa dukamu juga dukaku...