hampir dua puluh tahun sudah ane masih diberi kesempatan ma Allah SWT untuk menikmati kebesarannya di dunia ciptaannya yang fana ini. Hitam putih masa lalu terukir jelas dalam kenangan. Masa lalu selalu saja menjadi sarana untuk introspeksi diri. Kadang kenangan itu ada yang ingin tetap disimpan, namun juga ada yang ingin cepat-cepat dilupakan. Masa lalu sering ane jadikan rujukan buat sekedar melamun ataupun memperbaiki diri. Ane sadar bukan sebaik-baiknya hamba Allah, tak lebih baik dari gunung yang berikan seribu keindahannya walau setiap hari dicemari sampah manusia, tak lebih bain dari sungai yang menyambung nyawa manusia sekalipun manusia acap kali memenuhinya dengan benda najis, tak lebih baik dari tanaman yang tak punya nafsu duniawi. Sekiranya kisah ini dapat ane jadikan sebuah cermin kala ane mau berbuat. Ane lahir di madiun, tepatnya ane dibesarkan dilingkungan desa yang kental tali silaturahimnya. Sebelum kelas 3 sd ane ma ortu tinggal serumah dengan nenek. Rumah dinding kayu jati khas rumah jadul dengan lantai masih tanah dingin. Sayangnya nenek tak kalah ma sayangnya ortu. Namun ane bersyukur masih diberi kesempatan hidup dengan nenek yang sayang sekali dengan ane ini. Sekalipun tak mewah, rumah ini seperti dipayungi kerukunan. Damai banget rasae. Semenjak pindah rumah pun ane sering tidur di rumah nenek. Kelas 3 sd ane pindah rumah tak jauh dari rumah nenek. 50 meter dari rumah ada masjid utama desa ini. Jadi kalo lebaran, shalat idnya pada disini. Mulailah jiwa ini belajar tentang agama lebih intens. Sekalipun sd ane juga di madrasah ibtida’iyah, namun agamaku lebih banyak dibangun di lingkungan rumah. Mulai dari TPA, jadi bilal waktu shalat jumat, shalat tarawih, tadarus, ane jalani bersama kawan-kawan perjuangan. Hahaha… sungguh mengingat masa itu membuat ane rindu dengan dunia bocah. Singkat cerita di suatu malam dibulan Ramadan. Kawan-kawan kumpul dimasjid selepas shalat tarawih sambil menunggu makanan kecil yang sering kami sebut takjil. Memang inilah yang membuat masjid menjadi ramai, yang bikin kami para generasi penerus semangat tadarus, bahkan sampai rebutuan untuk membaca alquran. Namun biasanya yang cowok dapat jatah setelah para cewek selesai mengaji semua. Sewaktu lagi pada duduk-duduk becanda, ada satu kawan yang mengajak jalan-jalan kekota naik sepeda sambil nunggu para cewek selesai mengaji. Ide yang bagus, dan kamipun segera berangkat bergerombol menuju alun-alun kota. Ide ini pun berhasilmenghipnotis kamihingga tenggelap gemerlapnya Ramadan di tempat yang bukan sewajarnya, yakni alun2 kota. Yah namanya bocah hal seperti inilah yang menjai kenangan manis untuk dikenang. Seperti ane sekarang ini, yang ketawa-ketawa sendiri menuliskan kenangan itu. Kembali melanjutkan ide tadi, yang kami udah capek jalan-jalan mengelilingi alun-alun, kami putuskan untuk pulang dan mengaji. Di tengah-tengah jalan menuju pulang, satu kawan mengajak pulang lewat tangkis, atau tanggul kali yang gelap pastinya. Tapi kami tidak takut karena katanya kalau bulan puasa syetan dipenjara ma Allah. Entah siapa yang bilang, yang jelas faktanya kami mempercayainya, dan itu terbukti mampu menghilangkan rasa takut kami. Kamipun mulai masuk jalan tangkis yang benar-benar gelap dengan beriringan. Ditengah rute tangkis satu sepeda berhenti. Seorang teman melihat seekor ayam di sisi kiri tangkis. Ide jahatpun muncul. Karena syetan dipenjara, ganti manusia yang menjelma syetan sekarang. Ane sebenere sama sekali nggak setuju, namun pikiranku bukan lagi memikirkan dosa, tapi ini menyangkut harga diri pemuda kampung yang kudu berani. Sayapun bertugas jadi hansip di atas tangkis. Dan dua orang beraksi. Hal yang aku takutkan pun terjadi. Waktu hendak menangkap si ayam berontak dan teriak-teriak, hingga sang pemilik tahu dan mengejar kami. Usaha kabur pun tak kesampaian, karena salah satu teman kami tertangkap. Atas nama setia kawan ane kembali. Hukuman pun kami terima. Sebuah tamparan keras dari tangan orang dewasa meluncur ke muka kami. Untung kami tak dilaporkan pihak berwajib, dan kami di maafkan. Kamipun pulang dengan jantung hampir copot. Seperti kesepakatan kami tidak akan membahas kejadian ini lagi, dan melupakannya. Sampai di masjid tak merubah kebiasaan kami untuk mengaji , walau jantung belum normal berdetak. Smabil berharap dapat ampunan atas kejadian tadi, juga menyesali kelakuan kami mala ini. Satu jiwaku telah kembali mengingat kejadian ini, yakni bukan jaminan bahwa bulan puasa ini bebas akan syetan. Kita sendiri bisa jadi syetan jika ada niatan jahat. Kedua bulan ramadhan adalah bulan yang mulia, tak seharusnya kamimeriahkan di tempat yang kurang tepat. Keinginan melupakan ini pun aku urungkan agar aku bisa melihatnya kembali, dan meminta ampunan kepada Allah swt. Sekian satu kisah dari jiwa yang pernah tersesat, satu cerita kala jiwa sesat. Insyaallah cerita selanjutnya akan dapat mengembalikan ini ke jalannya…
0 komentar: