DIARY USANG 1

Ting…ting…ting..!!! suara sepeda ontel lagi menunggu tuannya selepas shalat subuh. Masih tersisa malam, tapi sudah tercium mentari dari ufuk timur. Badan gemuk berbalut kain putih berjalan dari arah barat. Sang tuan sudah pulang dari masjid, sepedapun semakin percayakan diri untuk hari itu. Seusai ganti baju, sepedapun dilap sampai telihat mengkilat. Hijau sepedah ontel tua menikmati setiap belaian sang tuan di setiap sudut bagian. Bersihkan debu yang menempel, cakep sudah sepeda, dan siap untuk memulai perjalanan. Sebelum berangkat sang tuan mengajak puteranya, lalu pamit kepada orang yang paling dia dicintainya di dunia ini. “bu, berangkat dulu!!!” ucapnya pada sang istri cukup menyadarkan sepeda kalau tuannya termasuk orang romantic. Sang putera dibonceng di tengah, antara setir dan sadel sepeda. Petualangan sehari-haripun dimulai, pedal dikayuh mengundag semilir angin pagi untuk menerpa wajah sang tuan dan puteranya. Tegur sapa dengan para tetangga menjadi mmenjadikan sepeda ontel hijau itu terkenal bersama sang tuan juga puteranya. “monggo pak.. monggo bu… monggo..” menjadi irama tersendiri, kalau sepeda itu mampu bicara, mungkin juga ingin ikut menyapa. Setiap kanan kiri sisi jalan, setiap atap-atap tetangga. Keluar dari kampung terpampang luas lading sawah yang masih hijau. Dan setiap sampai di persawahan itu, mentari telah tersenyum sempurna. Seakan kedatangan sepeda ontel membuat mentari bahagia. Dengan begitu luasnya lading sawah jelas Nampak memenuhi pupil mata. Beberapa petani memulai aktifitasnya, membajak, mengairi sawah dan lain-lain. Sungguh sambutan yang harus disyukuri. Tek terasa sudah sekian kilo sepeda ontel melaju, namun tak ada sedikitpun terdengar suara lelah dari nafas sang tuan yang menghembus meniup rambut sang putera. Sang putera masih asyik terkagum pada nikmat yang Tuhan kasih. Sering sang putra bergoyang lantaran menahan panas paha duduk di bayangan sepeda itu. Namun tak sampai mengganggu kenyamanannya bersyukur. Sampai pada sabuah kanal, teapat sebelum jembatan tempat istirahat mereka. Gubuk berdinding anyaman bamboo tepat di antara sawah dan sungai yang mengalir tiada henti. Rimbun pohon menambahkan bukti Tuhan begitu luar biasa. Sang tuan turun dengan puteranya dan parker speda di depan gubuk itu. Sepeda ontel tua itu seakan kagum untuk sekian kalinya, ditempat itu, dibawah pohon itu, menikmati suguhan Tuhan yang tak tertandingi. Sang tuan dan puteranya masuk gubuk menikmati jualan ibu pribumi bersama para petani yang mencari oengganjal perut sebelum mengolah pemberian Tuhan. Sepeda tua didepan masih terdiam, seakan berdoa agar esok hari masih diberi kesempatan ke tempat ini lagi bersama tuannya. Dan sang tuan dalam benak sambil menikmati jajanan mengharapkan puteranya agar kelak jangan sampai tertipu dengan dunia yang fana ini. Sang putera masih menuangkan kopi di cawan hingga keluar asap kepermukaan. Masih awam sang putera dengan makna hidup yang sebenarnya. Sampai saat ini, sang putera sudah dewasa, sudah mengerti apa yang ayahnya ingin sampaikan dengan bersepeda keliling kampung tiap pagi dulu. Hanya saja mungkin hal itu gak bisa kembali terulang. Bahkan sepeda ontel tua wana hijau yang setidaknya menjadi bukti kenangan itu entah dimana. “ayah, terimakasih sudah menagajariku banyak hal, caramu mendidik yang begitu menakjubkan padahal saat itu aku tak menyadari. Hingga sekarang aku baru sadar setiap apa yang ayah tnjukkan adalah untuk kebaikanku. Dan untuk sepeda tua, aku ingin suatu hari kembali mengajakmu kembali ketempat itu. Kau pasti senang, tunggu kabar dariku sepeda hijau. Hmmm ayah, semoga bahagia disana, sekarang ganti puteramu meniti hidup. Semoga kita kelak dapat bertemu di surge, banyak yang ingin aku ceritakan. Tentang ibu, kakak, dan farhan… ^_^”

0 komentar:

About Me

Foto Saya
fahma alfian
kopipun berubah jadi susu seiring aku melangkah untuk belajar... bukan tentang pahitnya kopi, bukanpula manisnya susu... mereka sama-sama benar pada ruang dan waktunya masing-masing......
Lihat profil lengkapku