tanah siapa....
hai!!! hmm... kali ini aku nggak pakek salam pembuka seperti sebelume. tapi, gak pentinglah... Yang jelas kali ini emang beda bahasannya. Dari temanya yang kian komplek, dan konteks yang belum pasti apa. Ngga' selalu sebuah renungan, cuma saja aku seperti merasakan, melihat, dan mendengarnya...
Tentang keberadaan "Tanah Surga" yang pernah dikata gemah ripah loh jinawi tototentrem kartoraharjo. Tanah yang dikabarkan pernah merdeka. Dan jikalau merdeka sudah jelas mampu mengolah sumber daya alamnya secara optimal. Dan jelaslah pasti tanah itu menjadi surga para penghuninya.
Tapi belakangan dikabarkan bahwa penghuninya keburu beringas dalam menerima nikmat-Nya. Tambang terkuras tak henti, belantara teduh disulap menjadi teriknya bangunan-bangunan. Hasilnya : burung kesulitan untuk sekedar bertengger karena ranting-ranting sudah berubah menjadi pagar-pagar beton, ikan kesulitan hidup sebab air sudah terkontaminasi limbah pabrik, macan-macan tak bisa lagi bersembunyi karena hutan habis terbabat. Dengan dalih pembangunan, tapi justru pemusnahan generasi mendatang.
Itu lah keadaan sebuah negeri yang penghuninya terlanjur mengartikan rasa syukur sebagai bentuk nafsu agar nikmat yang diberi tidak mubadzir. Sebuah pemahaman yang kebacut dan cenderung kepada jiwa egoistik dan lupa akan keberadaan Tuhan dan generasi penerus.
Memeng segala nikmat yang Tuhan berikan itu harus disyukuri. Tapi para penghuni yang terlanjur alpha justru membuat rasa syukur itu menjadi sbuah pengingkaran terhadap Tuhan. Dan ketika penghuni sebidang tanah yang terlanjur ingkar, ketenagnapun berubah menjadi malpetaka. Minuman khamr menjadi tradisi, zina dianggap biasa, kriminalitas kian memenuhi media elektronik juga cetak, anarkisme membabibuta. belum lagi ketika alam mulai mengamuk, gelombang laut menggulung peradaban, gunung-gunung indah mabuk lahar, hujanpun tak lagi seirama dengan alunan musim, terbalas oleh kemarau berkepanjangan yang membuat tanah kehausan lalu terpaksa membelah menggambarkan alam yang sudah bosan untuk bersahabat dengan manusianya.
Semua itu masih secuil derita, yang jika kembali terus ingkar maka niscaya akan tiba derita yang lebih. dimana setiap derita mengabarkan satu hikmah diantara lima kepastian : sebagai ujian, sebagai hukuman, sebagai tebusan, teguran atau malah menjadi alat untuk meningkatkan ke-iman-an. Tinggal kita untuk memilih hikmah yang mana....
Andaikan negeri itu mampu menempatkan sebagai negeri yang sabar saat tertimpa bencana, dan tidak menjelma menjadi sombong, takabur, arogan, dan lupa diri kala diberi nikmta. Maka kemerdekaan kemarin itu tak sampai menjadi kebebasan yang tak mengenal batas-batas aturan.
Tentang keberadaan "Tanah Surga" yang pernah dikata gemah ripah loh jinawi tototentrem kartoraharjo. Tanah yang dikabarkan pernah merdeka. Dan jikalau merdeka sudah jelas mampu mengolah sumber daya alamnya secara optimal. Dan jelaslah pasti tanah itu menjadi surga para penghuninya.
Tapi belakangan dikabarkan bahwa penghuninya keburu beringas dalam menerima nikmat-Nya. Tambang terkuras tak henti, belantara teduh disulap menjadi teriknya bangunan-bangunan. Hasilnya : burung kesulitan untuk sekedar bertengger karena ranting-ranting sudah berubah menjadi pagar-pagar beton, ikan kesulitan hidup sebab air sudah terkontaminasi limbah pabrik, macan-macan tak bisa lagi bersembunyi karena hutan habis terbabat. Dengan dalih pembangunan, tapi justru pemusnahan generasi mendatang.
Itu lah keadaan sebuah negeri yang penghuninya terlanjur mengartikan rasa syukur sebagai bentuk nafsu agar nikmat yang diberi tidak mubadzir. Sebuah pemahaman yang kebacut dan cenderung kepada jiwa egoistik dan lupa akan keberadaan Tuhan dan generasi penerus.
Memeng segala nikmat yang Tuhan berikan itu harus disyukuri. Tapi para penghuni yang terlanjur alpha justru membuat rasa syukur itu menjadi sbuah pengingkaran terhadap Tuhan. Dan ketika penghuni sebidang tanah yang terlanjur ingkar, ketenagnapun berubah menjadi malpetaka. Minuman khamr menjadi tradisi, zina dianggap biasa, kriminalitas kian memenuhi media elektronik juga cetak, anarkisme membabibuta. belum lagi ketika alam mulai mengamuk, gelombang laut menggulung peradaban, gunung-gunung indah mabuk lahar, hujanpun tak lagi seirama dengan alunan musim, terbalas oleh kemarau berkepanjangan yang membuat tanah kehausan lalu terpaksa membelah menggambarkan alam yang sudah bosan untuk bersahabat dengan manusianya.
Semua itu masih secuil derita, yang jika kembali terus ingkar maka niscaya akan tiba derita yang lebih. dimana setiap derita mengabarkan satu hikmah diantara lima kepastian : sebagai ujian, sebagai hukuman, sebagai tebusan, teguran atau malah menjadi alat untuk meningkatkan ke-iman-an. Tinggal kita untuk memilih hikmah yang mana....
Andaikan negeri itu mampu menempatkan sebagai negeri yang sabar saat tertimpa bencana, dan tidak menjelma menjadi sombong, takabur, arogan, dan lupa diri kala diberi nikmta. Maka kemerdekaan kemarin itu tak sampai menjadi kebebasan yang tak mengenal batas-batas aturan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me

- fahma alfian
- kopipun berubah jadi susu seiring aku melangkah untuk belajar... bukan tentang pahitnya kopi, bukanpula manisnya susu... mereka sama-sama benar pada ruang dan waktunya masing-masing......
0 komentar: